Menjadi guru itu tak mudah. Sebab guru bukan sekedar dituntut mengajarkan satu tambah satu sama dengan dua atau “mencuri itu buruk” . Lantas, kenapa semua orang termasuk sarjana non pendidikan boleh jadi guru?
Kalau Anda sarjana pendidikan, tentu pernah mendengar berita ini: sarjana non pendidikan juga boleh menjadi guru.
Saya pribadi ketika membaca berita itu agak kesal. Insting manusia saya menyebut pemerintah berlaku tak adil pada kami, sarjana pendidikan. Kesempatan saya mendapatkan uang jadi berkurang gara-gara kebijakan ini.
Tapi sejujurnya saya lebih bingung daripada kesal. Bayangkan ketika suatu hari nanti, Anda membaca headline di Kompas atau Tempo: sarjana non farmasi boleh jadi apoteker. Atau yang lebih halus: sarjana keperawatan boleh jadi dokter.
Tentu kita semua kaget. Sebab, sudah tertanam dalam diri kita, bahwa yang bisa menjadi apoteker hanya yang belajar formal farmasi... yang bisa menjadi dokter, hanya yang belajar formal kedokteran.
Sayangnya, cara pandang ini tak berlaku ketika kita menyebut profesi guru. Semua orang boleh menjadi guru! Begitu kata pemerintah... ia menunjuk ke sarjana TI, sarjana filsafat, dan sarjana memasak.
Bagi saya, ini adalah sebuah pembuktian mengapa dunia pendidikan formal kita amburadul seperti sekarang: pasalnya, pemerintah menggampangkan profesi guru. Pepatah mengatakan "alam terkembang jadi guru". Tapi bedakanlah antara "guru" dan profesi guru.
Memang, dalih pemerintah di balik kebijakan itu ialah untuk menghadirkan guru berkualitas. Namun apakah ini tafsir paling tepat? Kalau saya ingin mendapat seorang dokter terbaik, apakah efektif kalau saya membolehkan semua pendaftar dari latar belakang apapun?
Orang boleh berpikir bahwa yang dilakukan guru “hanya mengajar”. Tapi nyatanya kan tidak demikian. Terbukti rangking PISA dan TIMSS anak Indonesia sangat rendah. Terbukti bangsa kita masih jadi bangsa dunia ketiga, ketinggalan dari China dan Malaysia. Kalau ini bukan persoalan pendidikan, lantas apa?
Menjawab persoalan tersebut dengan membolehkan semua orang menjadi guru pun, tak akan menyelesaikan masalah –dan malah membuktikan kenapa dunia pendidikan hancur-.
Memutuskan sarjana non pendidikan boleh menjadi guru sama artinya dengan mengatakan bahwa pelajaran yang diterima sarjana pendidikan tak jauh berbeda. Harusnya, pemerintah menyediakan pendidikan berkualitas untuk calon guru. Bukan malah membuat semua orang bebas menjadi guru.
Buatlah kurikulum dan standar yang tinggi untuk jurusan kependidikan. Agar kelak, ketika ia lulus, orang bisa membedakan “oh, begini kualitas sarjana pendidikan!” atau “oh, ternyata ada bedanya sarjana pendidikan dan tidak”.
Nah, kalau semua orang saja bebas menjadi guru, berarti kan kembali pada dua hal sudah dibahas di atas: pemerintah menganggap enteng profesi guru atau jurusan pendidikan tak berkualitas.
Saya sendiri sebagai sarjana pendidikan, dengan jujur mengatakan bahwa saya merasa belum memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi guru. Banyak yang mengatakan seorang guru hanya perlu niat baik. Tapi itu pemikiran yang saya kira jauh dari kata profesional.
Pengalaman saya mengajar saat KKN PPL membuktikan dunia pendidikan memerlukan dedikasi amat besar. Bukan saja untuk menciptakan iklim belajar yang bagus. Namun juga untuk menyerahkan segala sesuatunya sebagai sebuah media siswa untuk belajar.
Pernah saya marah dengan siswa yang kala itu tak memperhatikan saya yang bicara di depan kelas. Saya pun mengancamnya masuk BP bila ia tak bisa tenang. Ketika emosi saya sudah reda, saya baru sadar kesalahan besar saya: melibatkan emosi ketika mendidik anak. Memang saya harus menunjukkan bahwa saya marah ketika si siswa tak menunjukkan sopan santun. Tapi kemarahan saya itu harus didedikasikan agar anak sadar dan belajar, bukan sekedar pelampiasan emosi. Melakukannya seolah gampang. Tapi ini benar-benar sulit dan tak seperti di buku teori yang saya baca.
Dari segi pendidikan yang saya dapat, saya juga merasa masih banyak yang kurang. Materi pendidikan di kampus saya baru diajarkan mulai semester pertengahan. Padahal, itu sangat krusial. Aliran-aliran pendidikan, seperti pendidikan pembebasan yang diungkap Paulo Friere misalnya, hanya dipelajari sekilas lalu. Hanya sebagai pemahaman tanpa ada pemaknaan lebih dalam. Saya berani katakan: sangat sedikit sarjana pendidikan yang paham mendalam filsafat pendidikan dan pemikiran-pemikiran alternatif.
Jadi, buat saya, bila pemerintah niatnya memang menyediakan guru yang baik dan berkualitas, tingkatkanlah standar jurusan pendidikan. Jangan menjual murah profesi guru pada semua orang. Biarkan profesi ini menjadi terhormat sebagaimana mestinya.
![]() |
| Ketika menjadi guru "digampangkan" |
Ketika Semua Sarjana Bebas Menjadi Guru
Kalau Anda sarjana pendidikan, tentu pernah mendengar berita ini: sarjana non pendidikan juga boleh menjadi guru.
Saya pribadi ketika membaca berita itu agak kesal. Insting manusia saya menyebut pemerintah berlaku tak adil pada kami, sarjana pendidikan. Kesempatan saya mendapatkan uang jadi berkurang gara-gara kebijakan ini.
Tapi sejujurnya saya lebih bingung daripada kesal. Bayangkan ketika suatu hari nanti, Anda membaca headline di Kompas atau Tempo: sarjana non farmasi boleh jadi apoteker. Atau yang lebih halus: sarjana keperawatan boleh jadi dokter.
Tentu kita semua kaget. Sebab, sudah tertanam dalam diri kita, bahwa yang bisa menjadi apoteker hanya yang belajar formal farmasi... yang bisa menjadi dokter, hanya yang belajar formal kedokteran.
Sayangnya, cara pandang ini tak berlaku ketika kita menyebut profesi guru. Semua orang boleh menjadi guru! Begitu kata pemerintah... ia menunjuk ke sarjana TI, sarjana filsafat, dan sarjana memasak.
Bagi saya, ini adalah sebuah pembuktian mengapa dunia pendidikan formal kita amburadul seperti sekarang: pasalnya, pemerintah menggampangkan profesi guru. Pepatah mengatakan "alam terkembang jadi guru". Tapi bedakanlah antara "guru" dan profesi guru.
Memang, dalih pemerintah di balik kebijakan itu ialah untuk menghadirkan guru berkualitas. Namun apakah ini tafsir paling tepat? Kalau saya ingin mendapat seorang dokter terbaik, apakah efektif kalau saya membolehkan semua pendaftar dari latar belakang apapun?
Orang boleh berpikir bahwa yang dilakukan guru “hanya mengajar”. Tapi nyatanya kan tidak demikian. Terbukti rangking PISA dan TIMSS anak Indonesia sangat rendah. Terbukti bangsa kita masih jadi bangsa dunia ketiga, ketinggalan dari China dan Malaysia. Kalau ini bukan persoalan pendidikan, lantas apa?
Menjawab persoalan tersebut dengan membolehkan semua orang menjadi guru pun, tak akan menyelesaikan masalah –dan malah membuktikan kenapa dunia pendidikan hancur-.
Memutuskan sarjana non pendidikan boleh menjadi guru sama artinya dengan mengatakan bahwa pelajaran yang diterima sarjana pendidikan tak jauh berbeda. Harusnya, pemerintah menyediakan pendidikan berkualitas untuk calon guru. Bukan malah membuat semua orang bebas menjadi guru.
Buatlah kurikulum dan standar yang tinggi untuk jurusan kependidikan. Agar kelak, ketika ia lulus, orang bisa membedakan “oh, begini kualitas sarjana pendidikan!” atau “oh, ternyata ada bedanya sarjana pendidikan dan tidak”.
![]() |
| Ketika sarjana non pendidikan boleh jadi guru |
Jangan Jual Murah Profesi Guru
Nah, kalau semua orang saja bebas menjadi guru, berarti kan kembali pada dua hal sudah dibahas di atas: pemerintah menganggap enteng profesi guru atau jurusan pendidikan tak berkualitas.
Saya sendiri sebagai sarjana pendidikan, dengan jujur mengatakan bahwa saya merasa belum memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi guru. Banyak yang mengatakan seorang guru hanya perlu niat baik. Tapi itu pemikiran yang saya kira jauh dari kata profesional.
Pengalaman saya mengajar saat KKN PPL membuktikan dunia pendidikan memerlukan dedikasi amat besar. Bukan saja untuk menciptakan iklim belajar yang bagus. Namun juga untuk menyerahkan segala sesuatunya sebagai sebuah media siswa untuk belajar.
Pernah saya marah dengan siswa yang kala itu tak memperhatikan saya yang bicara di depan kelas. Saya pun mengancamnya masuk BP bila ia tak bisa tenang. Ketika emosi saya sudah reda, saya baru sadar kesalahan besar saya: melibatkan emosi ketika mendidik anak. Memang saya harus menunjukkan bahwa saya marah ketika si siswa tak menunjukkan sopan santun. Tapi kemarahan saya itu harus didedikasikan agar anak sadar dan belajar, bukan sekedar pelampiasan emosi. Melakukannya seolah gampang. Tapi ini benar-benar sulit dan tak seperti di buku teori yang saya baca.
Dari segi pendidikan yang saya dapat, saya juga merasa masih banyak yang kurang. Materi pendidikan di kampus saya baru diajarkan mulai semester pertengahan. Padahal, itu sangat krusial. Aliran-aliran pendidikan, seperti pendidikan pembebasan yang diungkap Paulo Friere misalnya, hanya dipelajari sekilas lalu. Hanya sebagai pemahaman tanpa ada pemaknaan lebih dalam. Saya berani katakan: sangat sedikit sarjana pendidikan yang paham mendalam filsafat pendidikan dan pemikiran-pemikiran alternatif.
Jadi, buat saya, bila pemerintah niatnya memang menyediakan guru yang baik dan berkualitas, tingkatkanlah standar jurusan pendidikan. Jangan menjual murah profesi guru pada semua orang. Biarkan profesi ini menjadi terhormat sebagaimana mestinya.


0 Response to " Menjadi Guru Sangat Gampang menurut Pemerintah"
Posting Komentar