Bisakah Sekolah Melawan Terorisme?

Kalau Anda menganggap densus 88 sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menangangi terorisme, Anda salah. Garda terdepan dalam permasalahan ini adalah para pendidik, baik itu orangtua ataupun tayangan di TV. Dalam pendidikan formal, tentu sekolah punya tanggung jawab besar. Institusi ini harus mampu mewujudkan pendidikan melawan terorisme yang efektif.

pendidikan melawan terorisme guru agama
Saat kamu melakukan ini, ada yang salah dengan cara berpikirmu.

Ledakan terjadi di area Sarinah Jakarta. 7 orang tewas termasuk 5 orang pelaku. Detik-detik paling menyeramkan bukan pada saat granat meledak. Tapi ketika dua orang pelaku mengarahkan tembakannya pada polisi yang tak bersalah. Sebab, ia membunuh langsung tanpa ikut mati layaknya kepengecutan yang diperlihatkan pelaku pemboman selama ini.

Media dan pemerintah pun heboh seketika itu juga. Tayangan di TV One ribut soal bobol membobol. Padahal yang diperlukan rakyat adalah dukungan bersama yang disuarakan lewat media. Bukan malah ribut cari siapa yang salah.

Sebab menurut saya, pada dasarnya bukan hanya Densus 88 anti teror yang patut disalahkan. Kita sebagai anggota masyarakat pun tak kalah bersalah. Keluarga para pelaku, lingkungan rumah para pelaku, institusi pendidikan para pelaku, dan semua struktur sosial yang dipijak pelaku telah kecolongan.

Seperti yang Frans Magnis Suseno bilang, mereka –para teroris- pun anggota dari masyarakat, anggota sebuah keluarga... tapi kenapa ini terjadi?

Kalau kita terus-terusan mengandalkan Densus dan satuan polisi, yang ada kita selalu menunggu orang teradikalisasi dulu.

Pendidikan Melawan Terorisme sebagai Solusi

Padahal perang melawan terorisme adalah perang melawan ideologi. Pendidikan melawan terorisme bukanlah sebuah langkah preventif atau pencegahan. Pendidikan melawan terorisme bermakna seliteral yang kita baca: sebuah pendidikan untuk membasmi ideologi radikal. Pertanyaannya, sudahkah ini diberdayakan?

perang melawan terorisme dengan pendidikan
Erin Gruwell: "peperangan" yang sesungguhnya ada dalam kelas!


Media hiburan TV kita bisa dibilang ignorance

Sedangkan di dunia maya, orang dengan bebas meradikalisasi dirinya sendiri. Pemerintah memang pernah memberlakukan blokir pada situs-situs radikal. Tapi ini tak efektif dan malah cenderung otoriter. Yang diperlukan adalah kontra pemikiran. Sebuah pertunjukan bahwa ada alternatif lebih masuk akal dan lebih masuk di hati. Karena selama ini, yang sering bersuara keras justru mereka yang radikal: sebut saja FPI.

Menteri Pendidikan pernah berupaya menangani ini dengan menambah mata pelajaran agama dalam Kurikulum 2013. Opo tumon?

Bukankah mereka yang menjadi teroris sudah kenyang belajar agama? Bagi saya, yang penting bukanlah menambah atau mengurangi jam pelajaran agama. Tapi mengisi pendidikan agama dengan materi yang lebih masuk akal.

Saya ingat dari SD sampai SMA, yang saya dapatkan dari pendidikan agama Islam di sekolah adalah hafalan cara doa, cara beribadah, dan ini itu. Saya tak diajak berpikir. Islam menjadi bahasan paling monoton dan tak menarik. Saya juga jadi punya mental “pokoknya” dan melakukan sesuatu karena amat sangat takut masuk neraka. Tak ada metode berpikir kritis karena saya sudah ditakut-takuti duluan akan dibakar jadi arang oleh Tuhan.

Kalau kemudian saya diekspos dengan ide-ide tak biasa mengenai islam, tentu saya akan tertarik. Dan ini benar terjadi. Saya tertarik dengan Sufisme dan Quranist. Baik sufi maupun quranis menawarkan cara pandang yang baru tentang islam. Islam bukan lagi sebuah hafalan doa yang sangat ritualistik. Islam menjadi sesuatu yang ada maknanya dalam hidup saya. Dan saya sangat percaya, inilah juga yang dialami para pelaku teror. Bedanya, kalau saya tertarik dengan kelompok “kiri”, mereka terjun ke sesuatu yang super kanan seperti ISIS. Ditambah dengan mental “pokoknya islam versi saya pasti benar” dan ketakutan berlebih pada ancaman neraka yang jadi konsepnya sendiri.... hasilnya ya seperti ini.

Sayangnya, saya tak yakin dunia pendidikan Indonesia bisa mewujudkan pendidikan melawan terorisme. Sebab, ketika kita mengajak murid untuk melihat islam yang lebih halus, kita juga harus memperlihatkannya pada islam yang lebih radikal. Bila tidak, pendidikan melawan terorisme yang dicanangkan tak lebih dari bualan sebelum tidur. Tapi apa ini bisa?

Dapatkah para guru mengajarkan sejarah perebutan kekuasaan pasca nabi Muhammad meninggal? Ini bahasan sensitif yang berujung pada masalah sektarian. Dan bagi sebagian orang, hal ini harus ditutup rapat-rapat.

Saat kita mencoba pendekatan yang lebih terbuka seperti ini, kita juga tak lagi bisa mengandalkan doktrin “kamu harus patuh”. Murid harus dibiarkan berpikir kritis bahkan saat dihadapkan dogma sentral islam. Kalau ada murid yang bertanya “apakah Allah bisa membuat batu lebih besar daripadaNya?” mampukah guru agama menjawab tanpa melecehkan atau merasa benar sendiri?

Metode pembelajaran seperti ini akan membuka peluang orang murtad dari islam bahkan malah membuat seorang siswa sangat radikal. Tapi biarpun begitu, metode ini akan membuat siswa belajar berpikir saat dihadapkan pada dogma. Mungkin sementara ini dia punya pandangan radikal mengenai islam. Tapi dengan bekal berpikir kritis yang kita ajarkan, harapannya ia terus mengevaluasi diri dan tidak kagetan ketika mendengar ceramah ala ISIS.

Kunci pendidikan melawan terorisme itu satu: berpikir kritis. Bukan doktrin islam itu damai yang diulang terus-menerus. Tahukah Anda, bahkan para radikal pun tetap berpendapat “islam itu damai” padahal mereka melakukan aksi kekerasan?

Islam memang damai. Tapi muslim tak akan damai hanya dengan dijejeli doktrin islam itu damai terus menerus. Seribu justifikasi bisa beberapa oknum lakukan ketika melakukan kekerasan.

pendidikan melawan terorisme guru agama islam radikal

0 Response to "Bisakah Sekolah Melawan Terorisme?"

Posting Komentar