Karena Guru yang Baik Bukan Customer Service

Dorama The Queens Classroom meninggalkan banyak kesan terhadap cara pandang saya. Terutama soal bagaimana menjadi guru yang baik dan benar.



menjadi guru yang baik bukan customer service
Guru yang baik bukanlah seorang customer service

Seperti Apa Guru yang Baik itu?


Akutsu Maya dalam dorama tersebut digambarkan sebagai sosok yang otoriter dan “kejam”. Ia menghukum murid bukan karena si murid “berbuat salah”, akan tetapi karena si murid melanggar perintahnya. Ia menghina murid dan mengekspos kekurangannya habis-habisan, dan menyabotase hubungan antar orangtua dan anak-anak yang diajarnya. Bisa dibilang, Akutsu Maya adalah penjelmaan “evil” alias iblis. Ia adalah orang-orang di gedung DPR, dan para kapitalis yang mengeruk uang tanpa empati sama sekali.

Tapi yang dilakukan Maya bukanlah tanpa sebab. Ia ingin memperlihatkan bagaimana kejamnya dunia di luar sana. Ia ingin agar siswanya menjadi seorang problem solver alih-alih pengeluh. Ia ingin agar anak-anak yang dicintainya bisa berpikir independen, bukan hanya mengekor adat dan norma tanpa pendapat sama sekali.
Makanya, metode yang ia terapkan terlihat ekstrim.

Apa yang Akutsu Maya lakukan (meski sifatnya fiksi) jelas merupakan antitesis kebanyakan metode pembelajaran yang coba diterapkan saat ini. Kini, guru harus selalu bersikap supportive. Guru yang baik harus selalu memberikan pelajaran yang menyenangkan buat murid-murid. Bahkan “menyentil” kuping murid saja kini bisa menyebabkan guru dipenjara. Anda tentu masih ingat kasus dimana orangtua murid mencukur rambut seorang guru gara-gara si guru mencukur rambut muridnya, bukan?

Bagi saya, metode mendukung murid dan membuat segala sesuatunya selalu menyenangkan agak terlihat naif. Tidak bisa disebut sepenuhnya buruk. Akan tetapi, kita tak boleh membiarkan murid hidup dalam balon pelangi warna-warni. Karena dunia nyatanya sangat kejam... ada alasannya kita bermimpi soal utopia. Seorang guru bagi seorang murid adalah jembatan realita yang akan diprediksinya kelak ketika berhubungan dengan orang-orang. Selalu bersikap manis akan membuat siswa salah menilai kenyataan.

Ada kalanya, bersikap keras pada siswa perlu. Tapi sikap keras tersebut tentu bukan dilandasi sikap narsis ingin dihormati. Namun sikap keras yang “membelajarkan”. Seperti yang Akutsu Maya lakukan.

Ada satu episode yang begitu mengena di dorama ini dan menurut saya menyentuh idealisme pendidikan sekarang. Diceritakan, Akutsu Maya menghukum dua orang siswanya untuk mengepel seluruh lantai sekolah. Satu orang dihukum karena “terlalu bodoh” tidak bisa hafal gerakan menari yang diajarkan. Sedang yang satunya dihukum karena berusaha membela si murid bodoh dengan dalih si bodoh sudah berusaha keras.

Apa yang dilakukan Maya kemudian dilihat kolega lainnya. Tendo sensei –guru lain di sekolah tersebut- tidak setuju dengan cara Maya. Ia mengatakan bahwa yang terpenting bukanlah seorang anak bisa menari atau tidak. Yang terpenting adalah seorang murid bisa gembira menikmati pelajaran tari. Menurut Tendo, Akutsu Maya tak akan melakukan itu bila ia mencintai muridnya. Manis bukan?

Maya menyebutnya naif.

Ia mengatakan Tendo harus bisa membedakan antara “menjadi guru yang baik” dan “menjadi customer service”. Seorang guru yang baik adalah guru yang bertanggung jawab pada perkembangan muridnya kelak. Ia tidak seharusnya mengikuti kemauan si anak hanya agar mereka bahagia. Kalau perlu, seorang anak harus ditampar dan menangis habis-habisan demi masa depannya...

Terdapat perbedaan besar antara cinta dan memanjakan... yang dilakukan Tendo adalah bentuk pemanjaan murid. Bukan bentuk cinta yang sehat. Seorang CS memang selalu dituntut memanjakan klien. Sebaliknya, ketika kita menjadi guru, hal demikian sama sekali tak dianjurkan.

Sekali lagi... ada bedanya antara guru dan customer service. Guru yang baik bukanlah seorang customer service.

menjadi-guru-yang-baik


0 Response to "Karena Guru yang Baik Bukan Customer Service"

Posting Komentar