Anda yang update berita mungkin ingat judul ini, “Profesor Yohanes Surya Mencari Anak Terbodoh”. Saya baca sebuah artikel di kaskus dengan judul kurang lebih seperti itu. Isinya kisah panjang Profesor Yohanes yang percaya tidak ada anak yang bodoh. Diceritakan juga kisah kesuksesan Profesor Yohanes saat berhasil menyulap dua siswa Papua yang dulunya tak bisa apa-apa menjadi juara olimipiade.
Tanpa bermaksud sinis, saya menganggap cara media memperlihatkan apa yang dilakukan Profesor Yohanes tak lebih seperti proyek mercusuar. Kalau Anda ingat sejarah presiden Soekarno, proyek-proyek memberitakan seorang anak jadi juara olimpiade tak begitu berbeda dengan pengerjaan monas dan bangunan-bangunan lainnya.
Sekarang ketika Anda dihadapkan dengan idealisme Profesor Yohanes dan kondisi di lapangan, bisa-bisa Anda muntah.
Kurikulum Indonesia yang Nonsense
Menurut Profesor Yohanes, “kebodohan” yang dialami seorang anak disebabkan ia tidak diajari dengan metode yang tepat oleh guru yang tepat. Menurut saya ini sangat benar. Tapi, ada satu hal yang sangat krusial luput dari pemberitaan yang disajikan: realitas kurikulum nasional.
Kurikulum di Indonesia dibuat dengan standar yang sangat non sense. Anda mungkin sudah dengar begitu banyak keluhan dari sudut pandang murid. Jadi, biarkanlah saya memperlihatkannya dari sisi seorang guru.
Saya masih sangat ingat, ketika saya KKN PPL di sebuah SMA, hal pertama yang saya lakukan adalah melihat jumlah hari aktif selama satu semester. Selanjutnya, saya baru mencocokkan dengan jumlah materi yang harus diajarkan (jumlah dan apa materi yang diajarkan ini ditentukan pemerintah).
Hasilnya sungguh luar biasa. Kala itu, saya mengajar materi virus hanya 1pertemuan, bakteri 1-2 pertemuan, dst.... Padahal, standar yang kompetensi yang harus dikuasai “njelimet”. Mulai dari apa itu bakteri sampai bedanya cara infeksi bakteri litik dan lisogenik.
Bisa saja, saya mengajar dengan super duper asyik seperti yang dilakukan Profesor Yohanes... tetapi ketika keasyikan itu bergerak layaknya pesawat ulang-alik, pada akhirnya anak didik saya akan lupa. Apalagi bila kemudian kita melihat materi ujian (dari pusat seperti UN) yang tipenya hafalan.
Pernahkah ada soal UN SMP bertanya, “mengapa rumus pitagoras begitu?” tidak pernah. Yang ditanyakan adalah cara mengaplikasikan rumus pitagoras. Jadi agar supaya guru bisa dikatakan sukses meluluskan siswanya, ia harus membuat siswa pandai mengaplikasikan. Karena itulah yang terbukti nyata dituntut pemerintah lewat jenis ujian dan standar kompetensi yang ditetapkan.
Guru tak punya wewenang dalam hal ini. Yang dilakukan Profesor Yohanes tak bisa dibandingkan dengan guru-guru konvensional. Sebab, dia punya program sendiri. Sedangkan guru-guru, bukan hanya harus meluluskan siswanya dalam materi yang ia ajarkan. Para guru juga harus berjuang menghadapi siswa yang juga berjuang dengan banyaknya materi dari pelajaran lain.

0 Response to "Realita Pendidikan dan Mimpi Profesor Yohanes Surya"
Posting Komentar