Guru sang Pengajar Tanpa atau dengan Jasa

"Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa,” begitu yang kita lihat dari sosok Butet Manurung.
"Semua orang yang mengajar di sekolah,” ujar Inung.
“Pengalaman kita, baik yang buruk atau baik,” kalau ini menurut Eka.

Semua orang punya guru. Semua orang akan jadi mereka. Dan semua orang memiliki kesan terhadapnya. Seorang dokter dan seorang koruptor pun bisa jadi sosok pendidik yang amat berharga.

Oemar Bakri
Tapi ketika kita bicara soal profesinya para Oemar Bakri, bayangan kita akan lain lagi. Saya ingat, profesi ini dulunya lekat dengan orangtua berbaju batik naik sepeda ontel dan punya hutang menumpuk. Tapi kini, profesi ini identik dengan kredit Avanza dan urusan adminstrasi yang menumpuk.

Keduanya menarik disimak. Meski sama-sama negatif, tapi itulah kesan yang disematkan masyarakat pada apa yang terjadi terhadap profesi tersebut. Semua orang bicara soal nasib Oemar Bakrie.

Guru, Nasibnya, dan Kualitas Pendidikan

Tak ada yang bisa mengabaikan pentingnya pendidikan. Mereka yang mengabaikan pun pasti mendapatkannya meski tak mengakuinya sebagai pendidikan.

Tapi, profesi para pendidik ini belum lama baru diangkat agar kesejahteraannya layak. Itupun disertai sinisme dari mereka yang berharap para pengajar tetap miskin sehingga benar-benar “tanpa tanda jasa”.

Masihkah tanpa tanda jasa?
Masihkah tanpa tanda jasa?
Saya sendiri tak akan menuangkan terlalu banyak opini disini. Tapi ketika kita ingin menciptakan pendidikan yang baik, alat-alatnya pun juga harus baik. Itu tak bisa dipungkiri, meski membicarakan honor bagi Oemar Bakrie agak sedikit tabu. Sebab profesi ini identik dengan cinta.

Mereka yang mengajar karena cinta pada uang jelas berbeda dengan mereka yang mengajar karena cinta pada pendidikan dan anak didik.

Layar kaca telah mendokumentasikan.

Saya ingat kutipan cantik sosok Bu Muslimah di film Laskar Perangi, “Cita-citaku ini, bukan jadi istri saudagar, Pak. Tapi jadi guru...”

Saya juga ingat betapa keras kepalanya Erin Gruwell yang difilmkan di Freedom Writers, “Saat itu aku sedang mempertimbangkan kuliah jurusan hukum ketika menonton berita seorang anak masuk penjara. Kupikir, kalau kita membela seorang anak di penjara, maka kita sudah kalah. Perang sesungguhnya ada disini, di ruang-ruang kelas ini.”

Belum lagi sosok (yang meski fiksi) Akutsu Maya...
Belum lagi sosok Descartes yang diceritakan Plato...
Belum lagi pendidik nyata kita masing-masing dari TK sampai kuliah...

Semua sosok tersebut sangat ideal dan menakjubkan. Itulah yang saya tangkap sebenarnya dari ekspekstasi masyarakat yang begitu tinggi. Jadi biarpun ada banyak komentar sinis ketika profesi ini diberikan program sertifikasi, hendaknya para pendidik bijak. Sebab, mereka hanya khawatir para pendidik kehilangan cintanya yang tulus...

Ngomong-omong, saya ucapkan selamat datang di blog ini. Selamat menikmati sajian kisah inspirasi, berita, dan opini tentang guru dan dunia pendidikan. 
Seperti kata orang bijak, menulislah sebelum itu dilarang.
Selamat datang di ruang tinta
Selamat datang di ruang tinta guru!

0 Response to "Guru sang Pengajar Tanpa atau dengan Jasa"

Posting Komentar