Belakangan ini, media ramai dengan pemberitaan Aa Gym yang ingin melakukan boikot line karena emot LGBT. Tapi adik saya punya pandangan yang amat polos: kenapa orang pintar seperti bos Line, WhatsApp (WA), FB, Starburck, dst mendukung LGBT?
Kalau saya anak kecil dan saya dibesarkan oleh orang yang membenci homoseksual atau dalam spektrum lebih luas LGBT, ada kemungkinan saya akan tertular kebencian tersebut. Sayangnya orangtua saya tak pernah menanamkan kebencian semacam itu. Baik pada orangnya, atau pada tindakan orang LGBT itu sendiri.
Tapi apapun yang terjadi, setelah kita dewasa, kita tentu memiliki kapasitas lebih dari sekedar “mengikuti kebencian yang diajarkan.” Dan ketika prinsip itu di bawa ke persoalan LGBT, saya masih sangat takjub bagaimana ada orang yang membenci mereka membabi buta.
Tapi apapun yang terjadi, setelah kita dewasa, kita tentu memiliki kapasitas lebih dari sekedar “mengikuti kebencian yang diajarkan.” Dan ketika prinsip itu di bawa ke persoalan LGBT, saya masih sangat takjub bagaimana ada orang yang membenci mereka membabi buta.
Pertama-tama, saya sangat yakin, orang yang membenci LGBT tak pernah benar-benar dekat atau bahkan kenal dengan LGBT. Hampir semua teman yang anti LGBT sama sekali tak mau menganalisis kebencian mereka. Mereka juga tak pernah bertanya dan mendengarkan dari sudut pandang LGBT. Ini di atas pemahaman saya. Sebab saya hampir tak pernah membenci pihak yang sama sekali tak merugikan saya.
Kedua, kita semestinya instropeksi. Kenapa orang-orang besar seperti Tim Cook, Mark Zuckerberg, bahkan pembuat komputer ternyata adalah orang-orang yang pro LGBT dan bahkan bagian dari LGBT itu sendiri? Kenapa negara-negara miskin cenderung anti LGBT, sedangkan negara maju pro LGBT? Hari ini, fakta itu ditemukan adik sepupu saya yang menanyakannya, “mbak kenapa orang-orang pinter mendukung LGBT?”
.
Ramai-ramai Boikot line karena emot LGBT
Ia mengajukan pertanyaan itu karena belakangan ini sedang ramai pemberitaan mengenai LGBT. Tentu kita semua sudah mendengar kabar dari Aa Gym dan sikapnya yang melakukan boikot line karena emot LGBT pada aplikasi tersebut.
Ini ironis. Sebab, Aa Gym menyerukan boikot Line karena emot LGBT di medsos facebook milik Zuckerberg yang adalah seorang pro LGBT.
Kembali ke adik saya, untuk beberapa alasan saya tak menjawab pertanyaannya langsung. Saya bertanya balik “kenapa?” dan dia menjawab “mungkin karena mereka tidak punya agama.”
Dia bilang, gurunya yang mengajarkan demikian. Susah memang kalau segala sesuatunya dikembalikan ke agama. Saya ingin memperlihatkan ceramah dan tulisan-tulisan dari tokoh JIL seperti Musdah Mulia padanya. Tapi ia terlalu kecil dan saya khawatir pandangannya malah akan membuat gurunya khawatir. Jadi saya menjawab, “Ketemu dulu sana ngomong sama orang homo, nanti kamu pasti tahu kenapa orang-orang pinter mendukung LGBT... Masa kamu mau bersikap pada imajinasi?”
.
Pendidikan Anti LGBT
Adik saya adalah satu soal. Tapi saya sangat prihatin dengan guru dan pendidikan anti LGBT yang ia terima hanya dengan alasan agama. Pertama, tak semua agama membenci LGBT. Dan kedua, adik saya masih terlalu bocah untuk bisa disebut muslim, Kristen, yahudi, dan segudang label agama lainnya.
Dia harus dewasa dulu baru kemudian memilih dengan akal sehatnya untuk beragama. Bukan dengan brainwashed sehari-hari kalau agama orangtuanya pasti benar. Nanti setelah itu, barulah ia dapat mengambil keputusan untuk anti atau pro LGBT. Sekali lagi, guru tidak punya hak menanamkan kebencian pada anak kecil.
Di luar itu, sebagai seorang pendidik, kita hendaknya sadar. Bahwa meski dianggap salah oleh beberapa agama, LGBT atau setidaknya gay bukanlah penyakit. APA atau American Psychology Association tidak mengklasifikasikan gay sebagai penyakit. Penelitian yang dilakukan Dr. Hooker menyebut bahwa LGBT sama normalnya dengan hetero.
Kalaupun kita pro LGBT, bukan berarti kita lantas jadi LGBT itu sendiri. Saya benar-benar tak paham dengan mereka yang ribet ingin boikot line karena emot LGBT. Lah, orang gay tiap saat lihat emot hetero aja woles kok...
Satu hal lagi yang harus kita pahami, adalah bahwa orientasi seksual manusia itu bergradasi, bukan hitam putih. Ada orang yang sangat gay, sedang-sedang saja, biseksual, hetero biasa, hingga super heteroseksual... karena itu, tidak tepat mengatakan bahwa gay adalah penyakit menular. Boikot line karena emot LGBT seperti yang ditunjukkan Aa Gym tak semestinya dicontoh guru yang profesional.


0 Response to "Mbak Kenapa yang Pintar Dukung LGBT?"
Posting Komentar