Mengajar matematika dengan hati seperti membicarakan mesin waktu pada makhluk abad 17. Saya tak pernah sadar hingga saya paham bahwa para penemunya bukan robot seperti kalkulator.
Ketika dikenalkan dengan rumus pitagoras untuk pertama kali, saya tak pernah tahu betapa menakjubkannya rumus itu. Bagaimana bisa kita menghitung garis miring segitiga siku-siku dari kedua sisinya? Kenapa bisa begitu?
Ketika dikenalkan dengan rumus pitagoras untuk pertama kali, saya tak pernah tahu betapa menakjubkannya rumus itu. Bagaimana bisa kita menghitung garis miring segitiga siku-siku dari kedua sisinya? Kenapa bisa begitu?
Guru saya tak pernah membuat saya takjub. Ia tidak menunjukkan sebuah segitiga lalu mengatakan ia tahu cara “magic” untuk tahu panjang garis miringnya. Ia tak pernah menjelaskan kenapa rumus pitagoras dianggap benar. Ia diam seribu kata mengenai asal mula nilai pi saat kita menghitung luas dan keliling lingkaran.
Yang ketika itu dilakukan oleh Bu Guru adalah menuliskan sebuah persamaan di depan kelas. Dan ini menjadi kebiasaan. Hingga saya kuliah ilmu pendidikan, saya tak pernah paham ketika ada orang yang mengatakan “mengajar matematika dengan hati”.
Buat saya, matematika adalah game untuk diselesaikan. Tapi bukan seperti melengkapi puzzle dengan menggebu-gebu. Atau mendaki gunung Everest bagi para petualang. Lebih seperti menirukan gerak langkah orang di depan kita sepersis-persisnya. Atau menyelesaikan putaran rutinitas agar menang. Tentu menarik. Tapi tidak ada rasa lain kecuali kepuasan mendapatkan nilai bagus.
.
Kekosongan pikiran saya ketika ada wacana “mengajar matematika dengan hati” tentu amat menyedihkan. Saya bagaikan kalkulator yang bekerja dua dimensi. Hitung lalu jadi.
Seorang Einstein akan mengatakan alam diatur dengan hukum fisika dan matematika membahasakannya. “Matematika adalah bahasa”. Akan tetapi bahasa ini telah dikonversi menjadi bahasa untuk meraih nilai. Angka 100 artinya bagus, angka 0 artinya mampus.
Kita memperlakukan matematika seperti barang properti. Pendidikan formal membuat saya menganggap matematika sekedar permainan logika cocok-cocokkan.
Sebuah keuntungan akhirnya saya bisa paham menakjubkannya pitagoras. Tapi sampai saat ini pun, saya sama sekali tak paham dengan trigonometri, integral, dan rumus-rumus lainnya. Apa yang coba dibahasakan dari rumus itu? Yang saya ingat materi-materi itu membuat nilai saya turun.
Sudah lima tahun sejak saya menginjak bangku SMA dan materi-materi tersebut terbang seperti kapas. Ekspektasi pemerintah soal kelulusan merupakan konsen terbesar saya. Sedangkan persoalan menemukan bahasa alam, tak pernah sekalipun terpikir.
Di Kurikulum 2013 Guru Mengajar matematika dengan Hati?
Masalah ini, saya kira jadi salah satu masalah pokok dalam sistem pendidikan kita. Dan bukannya saya ingin menyalahkan guru. Pertama-tama, saya kira terjadi kesalahan sistemik. Dari mulai dinas pendidikan yang begitu takut ada siswa tidak lulus, hingga materi yang begitu banyak sehingga cara efektif menyerapnya ialah dengan menghafal.
Di era SBY, memang ada gebrakan dengan diwacanakannya Kurikulum 2013. Ada banyak koreksi pada kurikulum sebelumnya terutama kaitannya dengan pembelajaran yang punya makna. Contoh kompetensi dasar (kd) pada K 2013:
“Memiliki motivasi internal dengan merasakan kerbergunaan konsep dan aturan komposisi fungsi dalam memecahkan masalah nyata.”
Meski saya tak begitu paham bagaimana “motivasi internal” jadi standar kompetensi –bagaimana Anda mengukur motivasi?”-. Tapi SK di atas memperlihatkan ada perubahan yang bagus di jajaran pemerintah untuk memperbaiki kondisi saat ini.
Masih banyak yang menurut saya perlu diperbaiki. Akan tetapi apa yang coba dikoreksi lewak K 13 merupakan langkah yang baik meskipun hanya sesenti. Sangat patut diapresiasi.

0 Response to "Mengajar Matematika dengan Hati"
Posting Komentar