Rumah eks anggota Gafatar dibakar. Apakah persoalan seperti ini perlu ditanggapi sedemikian ekstrim? Bagaimana pendidikan toleransi yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah?
'
Saya tak pernah paham bagaimana seseorang bisa menyebut yang lain sesat lalu membakar atau melakukan bentuk-bentuk agitasi lainnya. Sebab, semua orang sesat menurut yang lain. Orang islam sesat menurut orang Kristen. Orang Kristen sesat menurut orang Buddha.
Yang kita punya di dunia adalah keyakinan akan mana yang benar. Bukan kebenaran itu sendiri. Sebab, bila yang kita punya adalah kebenaran seperti satu tambah satu sama dengan dua, maka kita tak perlu yakin. Orang tak perlu membela mati-matian untuk masalah seperti itu. Pada dasarnya kebenaran itu simpel dan tidak ambil pusing.
Makanya saya heran dengan cepatnya sekelompok orang bisa menyebut yang lain sesat. Kasus rumah eks anggota Gafatar dibakar, misalnya.
Okelah orang-orang takut akan kesesatan dan dibakar di neraka. Tapi sementara kita yakin agama kita akan membawa kita ke surga, ciptakanlah surga di dunia pada “ahli neraka”. Tak ada yang bisa kita lakukan selain itu. Sebab, keyakinan itu masalah hati. Anda tak bisa mengubahnya hanya dengan mengganti keterangan di KTP.
Lagipula, kita sama-sama manusia. Saya islam. Kalau Kristen ternyata agama yang benar, saya akan dibakar selama-lamanya. Kalau islam ternyata yang benar, saya akan melihat kawan-kawan Kristen dibakar seperti sate. Bagaimana saya bisa bahagia dengan pengetahuan mengerikan seperti itu (kalaupun saya masuk surga)?
Bilapun keyakinan tersebut dianggap sangat mengganggu seperti Gafatar, banyak cara lain yang lebih elegan. Misalnya menuntut gerakan tersebut karena dianggap melakukan cuci otak. Kalau ternyata terbukti para anggotanya ikhlas, itulah pilihan mereka menjalani hidup. Selama mereka tak merugikan, maka itu bukan urusan Anda.
.
Hasil Pendidikan di Kasus Rumah Eks Anggota Gafatar Dibakar
Berulangnya kejadian intoleransi seperti kasus rumah eks anggota Gafatar dibakar ini, tentu membuat kita bertanya mengenai kondisi pendidikan Indonesia. Kenapa kok sekolah pusing-pusing mengajarkan integral kalau ternyata orang masih perlu ilmu sabar?
Yang sangat bertanggung jawab, tentu adalah para guru agama, PKN, dan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi. Dan dari yang saya alami sebagai mantan murid sekolah Indonesia, hal-hal mengenai toleransi diajarkan dengan super duper superficial alias sangat dangkal. Bahkan dalam pelajaran agama yang sifatnya amat krusial, hal-hal demikian sangat minim diajarkan. Kecuali sebagai lip service bahwa agama kita agama yang paling toleran.
Kalau bisa menyarankan (dan kebetulan ada guru agama yang membaca), sisipkanlah masalah seperti ini di sekolah. Umat dengan gampangnya menyebut yang lain sesat pasti karena sudut pandang mereka sangat sempit. Cara lainnya, adalah dengan memberitahukan bahwa kesesatan merupakan masalah yang relatif dan bukan paksaan.
Maksud saya, kalau Anda menganggap gafatar sesat, Anda bisa:
- Menutup mata dengan kelopak mata
- Menyumpal telinga dari dakwa mereka dengan jari tangan
- Melangkahkan kaki menjauh dari orang-orang seperti itu.
Ada alasannya kita bisa menutup semua indra pada aliran yang dianggap sesat. Kita diberikan pilihan yang bijak. Yang tak kita punyai adalah alasan melakukan agitasi pada kelompok lain.
Semoga kedepannya pendidikan toleransi di Indonesia makin baik sehingga kejadian rumah eks anggota gafatar dibakar bisa dihindari.


0 Response to "Rumah Eks Anggota Gafatar Dibakar dan Masalah Siapa Sesat di Pendidikan Kita"
Posting Komentar