Saya tak heran kalau ada penelitian menyebut pengetahuan sastra indonesia di kalangan pelajar sangat rendah. Sebab, yang diminta pemerintah pada guru Bahasa Indonesia memang bukan itu. Hitunglah berapa kali ada tugas membaca buku seperti novel dari Guru Bahasa Indonesia.
“Buku adalah jendela dunia”, demikian yang sering kita baca. Waktu SD, kalimat itu sangat masuk di kepala saya karena saya merasakannya sendiri. Kebetulan orangtua saya rutin membelikan majalah Bobo. Sangat banyak pengetahuan sastra Indonesia dan pengetahuan umum lainnya yang saya dapat dari situ. Bahkan pengetahuan itu masih membekas sampai sekarang.
Sayangnya di pendidikan formal, “buku adalah jendela dunia” tak begitu diimplementasikan. Dan saya tak bermaksud menyalahkan guru. Sebab dari cerita teman-teman guru, sistem sekolah (dari pusat) sudah terlalu padat dengan berbagai materi. Mana sempat ada tugas membaca buku seperti novel dari guru Bahasa Indonesia lebih dari yang diminta? Novel saja dianggap sebagai “buku tak serius”. Ujian juga tak akan berisi mengenai apa isi sebuah novel, tapi hafalan majas-majas hingga siapa nama pujangga balai pustaka, dst.
Guru bahasa Indonesia yang sukses –menurut pemerintah- adalah guru bahasa Indonesia yang membuat muridnya hafal seribu majas. Perkara itu dilakukan dengan hafalan tak jadi soal. Jadi kenapa harus ribet-ribet memperlihatkan meliuknya kata-kata Rendra atau Pramoedya Ananta Toer?
Hanya pada kelas tiga saya merasakan “buku adalah jendela dunia” diwujudkan. Saat itu, pada satu jam di hari sabtu, saya dan teman-teman sekelas wajib masuk ke perpustakaan dan membaca.
Sayangnya cuma itu. Tak ada evaluasi atau bahasan lebih lanjut dari tugas membaca buku tersebut. Jargon buku adalah jendela dunia menjadi amat literal. Secara denotatif, kami benar-benar hanya dibiarkan di “jendelanya” saja.
![]() |
| Buku adalah jendela dunia! |
Di SMP dan SMA, tugas membaca buku terutama novel dari guru Bahasa Indonesia sebagai bagian dari pelajaran sangat minim. Saya hanya bisa mengingat satu atau dua. Di antaranya, sekelamut ingatan soal tugas resensi buku Ateis karangan Achdiat Kartamihardja. Itu saja.
Padahal, pengetahuan sastra indonesia tentu lekat dengan pelajaran bahasa Indonesia itu sendiri. Jadi kenapa guru Bahasa Indonesia tak “dibiarkan” mengajarkannya? Kenapa tak pernah ada tugas membaca buku seperti novel dari Guru bahasa Indonesia yang lebih banyak? Kenapa siswa Indonesia dibiarkan begitu bodoh soal pengetahuan sastra Indonesia yang merupakan negaranya sendiri?
Di SMA, penyair yang saya tahu hanyalah Chairil Anwar dan Islamil Marzuki. Chairil Anwar dengan “Aku” bahkan sudah saya kenal duluan dari film Ada Apa Dengan Cinta. Sedangkan buku-buku karangan penulis Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia” tak pernah mampir di telinga saya. Yang saya tahu hanya legenda Siti Nurbaya.
Makanya jangan heran, ketika orang Indonesia skeptis dengan kemampuan warganya menulis atau membuat buku. Sebab, mereka tak diajarkan untuk tahu apa saja karya penulis negeri. Pengetahuan sastra indonesia rendah di kalangan orang Indonesia itu sendiri. Kemampuan menulis orang kita pun ikut rendah karena referensi yang amat minim.


0 Response to "Pengetahuan Sastra Indonesia Rendah: Kenapa Tak Suruh Siswa Baca Novel?"
Posting Komentar