Jangan Ajari Saya Benci dengan Orang yang Beda Agama

Kalaupun saya masih anak-anak, sedikit banyak saya tahu mana yang benar dan salah. Mengajarkan curiga atau bahkan benci dengan orang yang beda agama adalah kesalahan besar. Apalagi pada orang yang saya tahu persis tak punya intensi apapun kecuali mengajar untuk sesuap nasi.

pendidikan toleransi beda agama di sekolah
Saya masih kelas dua dan sama sekali tak paham apa masalahnya bila guru menari saya beda agama. Yang saya tahu ia baik, berkulit kuning, dan saya harus bayar tiga ribu rupiah tiap kali les menari dengannya.
Beberapa tahun kemudian ketika saya sudah tak lagi les tari, saya mendapat kabar duka: kakinya diamputasi karena kanker. Seorang penari ditakdirkan di kursi roda. Saya tak habis pikir kenapa kesedihan ini harus diadakan untuk sebuah kebijaksanaan. Dan terakhir saya dengar beliau meninggal dunia karena kankernya tersebut. RIP.

Saya sebenarnya tak tahu bagaimana awalnya saya ikut praktik les tari yang ia adakan. Tiba-tiba saja –seingat saya- saya sudah masuk sanggar tarinya bersama 3 orang teman dan 2 orang kakak kelas. Dua minggu sekali kami berlatih. Dan saya masih bisa merasakan segar dan “tidak sehatnya” coca cola yang dinikmati bersama sehabis latihan.

Malam puncak terjadi dengan diadakannya pentas desa setelah beberapa bulan latihan. Saya bersama 3 orang teman menarikan lagu anak-anak yang saya lupa apa judulnya. Akhirnya tentu sangat meriah... sampai kemudian seorang guru menentang. Gara-garanya simpel, guru saya beda agama.
.

Dirapatkan karena Guru Beda Agama

Rapat diadakan untuk perkara ini. Hanya saja saya tak tahu persis bagaimana detilnya. Tapi saya tahu bahwa orangtua kami dipanggil. Pada intinya satu: sekolah akan menyediakan les tari dan kami harus berhenti belajar dengan guru lama saya. 

Saya juga ingat, saat itu ibu saya sangat kesal. Dan pikiran kanak-kanak saya juga tak habis pikir. Satu kalipun, guru saya tak pernah membahas masalah agama dengan kami, murid tarinya. 

Fakta ia beda agama dengan saya hanyalah fakta sekilas lalu yang tak punya wujud dalam interaksi kami. Tapi sekolah saya dengan jajaran gurunya berpendapat sebaliknya. Mereka curiga dan mungkin benci dengan orang yang berbeda agama. Mereka jelas mengajarkan untuk curiga dan benci dengan orang yang beda agama.

Untuk melakukan ini pun mereka tak perlu mendapat cap radikal terlebih dahulu. Maksud saya, mereka bukanlah tipikal umat yang asosiasinya dekat istilah“radikalisme”. Mereka orang-orang dengan intepretasi umum seperti yang dimiliki kebanyakan orang Indonesia. Bagi saya, kecurigaan mereka yang berlebih hanya contoh nyata realita hitam yang menggelayuti bangsa ini. 

kahlil gibran anakmu bukan anakmu

Mengajarkan Anak agar Benci dengan Orang yang Beda Agama adalah Kriminal

Dan harus saya akui, pandangan mereka sedikit banyak mempengaruhi saya. Apalagi sejak TK, saya masuk TK swasta milik organisasi keagamaan. Bagi saya, orang yang beda agama adalah alien. Perasaan ini tumbuh lantaran saya memang jarang berinteraksi dengan mereka. 

Tapi perasaan ini lambat laun memudar ketika saya masuk SMA. Kebetulan, salah seorang teman dekat saya beda agama. Ini membantu saya dalam banyak hal. Kedekatan kami membuat saya sadar bahwa ia cuma manusia. Kemanusiaannya itulah yang membuat saya tergelak ketika saya mendengar ceramah-ceramah berisi ajakan benci dengan orang yang beda agama.

SMA saya juga tak sehipokrit SD saya. Dan saya beruntung SMP dan tempat kuliah saya juga demikian. Tapi, kadangkala saya masih sering mendapat ajakan benci dengan orang yang beda agama dari ceramah-ceramah keagamaan di desa. 

Ini tentu menyedihkan. Bagi saya, menularkan kebencian dan kecurigaan pada seorang anak adalah kriminal.
Kahlil Gibran berkata, “anakmu bukan anakmu”. Para pemikir bebas akan berteriak soal anak yang bukanlah benda properti. Tapi yang terjadi selama ini, mereka bagaikan barang yang sejak lahir harus dibentuk sesuai keinginan orangtuanya. Bahkan soal kebencian pun demikian.


0 Response to "Jangan Ajari Saya Benci dengan Orang yang Beda Agama"

Posting Komentar